Malang, 9 Juni 2025 — Hoy AIESEC! Pernahkah kita tanpa sadar melontarkan atau mendengar frasa seperti, seperti “Eh, lo gila ya?” atau “Jangan kayak orang gila, deh!” dalam percakapan sehari-hari? Kalimat-kalimat tersebut sering kali terucap begitu saja sebagai bentuk candaan, ejekan, atau bahkan umpatan. Tapi, pernakahh kita berhenti sejenak dan merenungkan, bagaimana perasaan orang yang benar-benar sedang berjuang dengan kesehatan mental mereka saat mendengar ucapan itu? Kalau kita coba berpikir lebih dalam, kita akan menyadari bahwa istilah “gila” bukan sekadar kata, melainkan bisa menjadi luka yang mendalam. Yuk, baca lebih lanjut. Ini saatnya kita menjadi lebih sadar dan peduli!


Dampak Kata Negatif dengan Kesehatan Mental

Bagi sebagian orang, kata “gila” terdengar ringan dan digunakan sebagai ekspresi bercanda. Namun, bagi orang yang mengalami gangguan mental seperti skizofrenia, bipolar, depresi berat, atau gangguan kecemasan, kata itu bisa terasa seperti cap yang menyakitkan.

Label itu bisa menghapus perjuangan mereka, meremehkan rasa sakit yang mereka alami, dan bahkan membuat mereka merasa semakin terasing. Tanpa disadari, candaan semacam itu bisa memperkuat stigma yang sudah lama membebani mereka.

Empati dalam Berbicara: Jangan Anggap Gangguan Mental sebagai Lelucon (Sumber: Freepik.com)

Sama seperti sakit fisik, masalah kesehatan mental juga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, hubungan sosial, bahkan kualitas hidup seseorang. Orang-orang yang mengalami gangguan mental membutuhkan dukungan dan ruang aman untuk bercerita, bukan penghakiman dan cemoohan. Mereka membutuhkan kita untuk hadir sebagai teman, bukan sebagai penonton yang hanya bisa menertawakan kondisi mereka. Bayangkan kamu sedang berusaha bertahan di hari-hari sulit, lalu orang lain menertawakan kondisi yang kamu alami, tanpa tahu apa-apa soal luka yang kamu pendam.

Banyak orang dengan gangguan mental memilih diam karena takut dicap, dihakimi, atau dianggap lemah. Mereka belajar menyembunyikan tangis, memaksa diri untuk terlihat “baik-baik saja”, agar tidak jadi bahan gunjingan. Di sinilah letak bahaya dari stigma yang terus dilanggengkan lewat candaan sehingga membuat orang semakin enggan mencari bantuan.

Membangun Empati dalam Berbicara

Dalam berbicara, sebaiknya kita belajar untuk berempati dan berpikir terlebih dahulu. Empati berarti mencoba memahami perasaan orang lain meskipun kita tidak mengalami hal yang serupa. Empati dalam berbicara dapat dimulai dari hal kecil, seperti berhenti menggunakan istilah “gila” untuk menggambarkan sesuatu yang ekstrem, aneh, atau lucu. Kita dapat mengganti kata tersebut dengan bahasa yang lebih manusiawi dan menghormati perjuangan orang lain.

Setiap orang memiliki beban masing-masing, baik itu dalam keluarga, pekerjaan, kuliah, pertemanan, dan sebagainya. Bukan berarti mereka yang selalu terlihat ceria, tidak menyimpan luka. Oleh karena itu, kita harus belajar peduli dan berempati dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Kita tidak pernah tahu apa yang sedang diperjuangkan seseorang. Maka dari itu, mari menjadi pribadi yang lebih peka! Kurangi komentar yang menyakitkan dan tingkatkan empati dalam setiap percakapan. Karena pada akhirnya, dunia ini akan menjadi tempat yang lebih nyaman jika kita saling menghargai dan menjaga, bukan saling melukai.

Kalau kamu membutuhkan tempat yang bisa bantu kamu berkembang dan eksplor hal baru selama kuliah, AIESEC menjadi jawaban terbaik untukmu, seperti program pengembangan soft skills dan hard skills, kepemimpinan (leadership), dan karir internasional. Cek dan follow Instagram @brawijayaleads supaya kamu nggak ketinggalan peluang untuk pengembangan dirimu ya!

(vlr/wlm)


Ingin tahu informasi program dan event menarik lainnya dari AIESEC? Cek lebih lanjut tentang organisasi kepemimpinan internasional AIESEC di Indonesia melalui akun Instagram kami @aiesecindonesia.