Malang, 17 Juni 2025 — Pernahkah kamu merasa cemas atau sulit tidur, lalu refleks membuka Google untuk mencari tahu penyebabnya? Kemudian, kamu menemukan daftar gejala depresi dan langsung memercayai hasil pencarian tersebut. Kalau iya, kamu nggak sendiri. Di era digital ini, banyak dari kita yang sering mencari jawaban di internet tentang apa yang sedang dirasakan, termasuk soal kesehatan mental. Tapi, pertanyaannya: boleh nggak sih kita melakukan self-diagnosis? Mari kita bahas lebih lanjut!
Googling Gejala: Harmless or Harmful?
Mencari gejala di Google ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ini bisa membuatmu lebih sadar akan apa yang kamu rasakan. Misalnya, saat membaca bahwa kecemasan berlebihan bisa jadi tanda anxiety disorder, ini bisa mendorongmu untuk lebih peduli pada diri sendiri.
Namun, di sisi lain, internet itu sangat luas. Satu gejala sederhana seperti susah tidur bisa dikaitkan dengan banyak hal, mulai dari stres ringan hingga penyakit serius. Akibatnya? Kamu bisa jadi panik, overthinking, atau bahkan salah paham tentang kondisi diri sendiri. Self-diagnosis dari Google seringkali membuat kita merasa seperti “dokter” bagi diri sendiri. Padahal, kita tidak memiliki ilmu atau alat untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Konsekuensinya, kita bisa makin takut, makin bingung, atau justru meremehkan hal yang sebenarnya serius.
Kenapa Lebih Baik ke Pakar?
Bayangkan jika kamu patah tulang, apakah kamu akan Googling “cara menyembuhkan tulang patah” lalu mencoba memperbaikinya sendiri? Tentu tidak, kan? Nah, kesehatan mental juga sama penting dan kompleksnya dengan kesehatan fisik. Psikolog dan psikiater telah belajar bertahun-tahun untuk memahami cara kerja pikiran dan perasaan manusia. Mereka tidak hanya mendengarkan keluh kesah, tetapi juga menggunakan alat khusus seperti tes dan wawancara untuk memberikan diagnosis yang tepat.
Datang ke ahli bukan hanya untuk mendapatkan label seperti “kamu depresi” atau “punya anxiety“. Lebih dari itu, tujuannya adalah untuk mengerti akar masalahnya dan mendapatkan langkah nyata untuk mengatasinya. Ditambah lagi, kamu akan didengarkan tanpa dihakimi.
Jadi, jika pikiran atau perasaanmu sedang tidak beres, lebih baik membuka aplikasi untuk booking psikolog daripada membuka tab baru untuk Googling gejala.
Cara Menenangkan Diri Tanpa Jadi Dokter Google
Nggak semua orang bisa atau merasa nyaman untuk langsung ke psikolog. Mungkin karena stigma, biaya, atau sekadar merasa “ah, ini kayaknya bukan apa-apa.” Tapi, sebelum kamu mengetik gejala di Google, coba deh beberapa cara ini untuk menenangkan diri dan berefleksi:
1. Menulis Perasaan lewat Jurnal
Ambil buku atau buka catatan di ponsel, lalu tulis saja apa pun yang sedang kamu rasakan. Tidak perlu rapi atau indah. Misalnya, “Aku merasa cemas dan tidak berguna” atau “Hari ini aku marah pada diri sendiri, tapi tidak tahu alasannya.” Menulis seperti ini bisa membantumu mengenali isi pikiran dan melegakan beban di kepala. Lama-kelamaan, kamu bisa melihat pola tertentu, seperti “Aku selalu cemas setelah bertemu orang ini” atau “Aku merasa tertekan saat pekerjaan menumpuk.” Ini bisa jadi petunjuk untuk langkah berikutnya.
2. Tarik Napas
Meskipun terdengar klise, teknik pernapasan benar-benar bisa membantu. Coba tarik napas dalam selama 4 detik, tahan 4 detik, lalu hembuskan selama 4 detik. Ulangi beberapa kali. Ini dapat membantu menenangkan jantung dan tubuh saat kamu merasa cemas.
3. Bicara dengan Orang Terdekat
Kadang, bercerita kepada teman atau keluarga yang kamu percaya bisa sangat melegakan. Tidak harus mencari solusi, cukup didengarkan saja. Tapi pastikan kamu memilih orang yang membuatmu merasa nyaman dan tidak menghakimi.
4. Batasi Cari Informasi di Google
Jika ingin tahu soal kesehatan mental, lebih baik baca dari sumber yang terpercaya, seperti situs organisasi kesehatan (misalnya WHO) atau platform edukasi kesehatan mental yang kredibel. Hindari artikel dengan judul yang menakutkan atau berlebihan.
Kamu Layak Mendapatkan Bantuan yang Tepat
Pernahkah kamu merasa “lelet” atau “lebay” karena tidak bisa mengatasi perasaan sendiri? Itu normal, kok. Kita semua manusia, dan tidak ada yang dirancang untuk menghadapi semuanya sendirian. Kesehatan mental itu bukan cuma soal “kuat” atau “lemah”, tapi soal mengerti apa yang sedang terjadi di dalam diri kita. Googling boleh saja untuk menambah wawasan, tapi jangan sampai membuatmu merasa stuck atau takut.
Jika kamu merasa ada yang tidak beres, berikan dirimu izin untuk mencari bantuan. Mencari psikolog atau konselor itu bukan tanda kamu “gagal”, justru tanda kamu peduli pada diri sendiri. Sambil menunggu langkah itu, coba journaling, tarik napas, atau mengobrol dengan orang terdekat. Kamu tidak perlu menjadi dokter bagi dirimu sendiri; kamu hanya perlu menjadi teman yang baik bagi pikiran dan hatimu.
Jadi, malam ini, jika pikiran berisik lagi, ambil buku, tulis apa yang kamu rasakan, dan tanyakan pada diri sendiri: “Aku layak nggak sih dapet ketenangan?”
Butuh tempat untuk berkembang dan mengeksplorasi hal baru selama kuliah? AIESEC bisa menjadi jawaban terbaik untukmu, dengan program pengembangan hard-skill, kepemimpinan, dan karier internasional. Cek dan follow Instagram @brawijayaleads agar kamu tidak ketinggalan peluang untuk pengembangan dirimu, ya!
(grc/wlm)
Ingin tahu informasi program dan event menarik lainnya dari AIESEC? Cek lebih lanjut tentang organisasi kepemimpinan internasional AIESEC di Indonesia melalui akun Instagram kami @aiesecindonesia.